“Perkawinan anak merupakan masalah yang terpenting bagi orang Indonesia. Akibat maraknya perkawinan anak, gadis berumur 11 atau 12 tahun dikeluarkan dari sekolah oleh orang tuanya karena hendak dikawinkan.”
Mugarumah
Dalam Kongres Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia pada 1928 di Yogyakarta
Perjuangan kesetaraan antara laki – laki dan perempuan dalam rejim hukum perkawinan masih memerlukan perjuangan panjang dan berliku. Salah satu bukti ketidak setaraan antara perempuan dan laki – laki adalah mengenai batas usia minimum untuk dapat menikah. Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.”
Usia 19 tahun untuk laki – laki sudah melewati batas ambang sebagai anak, namun batas usia 16 tahun untuk perempuan, ini masih termasuk anak-anak. Konvensi Hak Anak, UU Hak Asasi Manusia, dan UU Perlindungan Anak juga membuktikan hal tersebut. Batas usia menikah yang sangat minim untuk perempuan adalah bagian dari kompromi politik pada masa UU Perkawinan dibuat. Kompromi itu dilakukan karena pemerintah pada saat itu mendapatkan tekanan yang kuat dari PPP yang didukung oleh Ormas – Ormas Islam yang dengan keras menolak batas usia minimum untuk menikah.
Akibat dari hukum formal yang melegalkan perkawinan anak memberi andil negatif yang tidak kecil. Saat ini, Indonesia termasuk 10 negara dengan jumlah perkawinan anak tertinggi. Pada 2015, UNICEF menyebutkan 1 dari 6 anak perempuan di Indonesia telah kawin sebelum menginjak usia 18 tahun. Persoalannya, penelitian yang dilakukan Rumah Kitab juga menunjukkan jika dua per tiga dari perkawinan anak itu kandas dan bercerai. Resiko lainnya juga
membayangi perempuan yang menjadi pengantin anak. Di seluruh dunia, sekitar 50.000 remaja perempuan di usia 15-19 tahun meninggal setiap tahunnya karena kehamilan atau pada saat proses persalinan. Sekitar satu juta bayi yang lahir dari remaja perempuan juga meninggal sebelum usia mereka mencapai satu tahun. Bayi dari seorang ibu yang melahirkan di bawah usia 18 tahun, 60 persen lebih berisiko meninggal sebelum berusia satu tahun.
Soal lain yang tak kalah gawat, UU Perkawinan juga memberikan ruang bagi anak perempuan di bawah usia 16 tahun untuk dinikahkan dengan cara mengajukan Dispensasi ke Pengadilan atau Pejabat Lain. Regulasi ini pada dasarnya malah membuat Indonesia tak punya batas usia minimum untuk menikah. Alasan moralitas menjadi dasar, pada saat pembahasan di 1973 regulasi dispensasi ini.
Masyarakat pun tak tinggal diam, upaya constitutional review ke Mahkamah Konstitusi diajukan pada akhir 2014 untuk mengubah batas usia minimum dan memperketat prosedur dispensasi. Sayangnya pada media Juni 2015, Mahkamah Konstitusi menolak “petisi” dari masyarakat. Alasannya sama dengan alasan klasik pada masa pembahasan pada 1973, moralitas. Pengadilan konstitusi itu seperti sama sekali tidak percaya bahwa anak – anak Indonesia sama sekali tidak punya problem moral. Alih – alih menunjukkan buktinya yang memadai, Mahkamah Konstitusi begitu saja mengambil kesimpulan yang berpotensi merusak proses perlindungan anak – anak Indonesia.
Hasil riset yang dilakukan Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak (Koalisi 18+) di Kabupaten Bogor, Kabupaten Tuban, dan Kabupaten Mamuju mengkonfirmasi hal tersebut. Dalam periode 2013-2015, ada 377 permohonan dispensasi pernikahan ke Pengadilan Agama. Sebanyak 367 permohonan dispensasi disetujui oleh Pengadilan Agama. Umumnya yang mengajukan dispensasi adalah pihak perempuan dan rentang usia yang dimintakan dispensasi ada pada rentang 10 – 15 tahun. Yang cukup membuat kejutan adalah selisih usia subyek pengaju perempuan dengan calon pasangan nikahnya, 5-30 tahun. Yang tertinggi, selisih usianya 6-10 tahun. Tak heran jika secara implisit, penelitian ini menunjukkan bahwa proses dispensasi perkawinan malah membuka pintu legal bagi para pedofil.
Lupakan soal moralitas, karena hasil riset menunjukkan jika alasan permohonan dispensasi yang terbesar adalah mengenai “pacaran” dan
“ditolak KUA”. Dan alasan terbesar yang digunakan Pengadilan untuk mengabulkan permohonan dispensasi adalah mengenai “kekuatiran orang tua” yang sulit diukur tentang bagaimana membuktikan kekuatiran tersebut. Hasil penelitian tak menampik bahwa ada alasan kehamilan dan berhubungan seksual yang digunakan, namun jumlahnya justru sangat kecil. Hal ini membuktikan bahwa alasan para penentang batas usia minimum yang layak untuk kawin atas dasar moralitas anak – anak yang terdegradasi justru tidak menemukan basis yang ilmiah kalau tak hendak dikatakan sebagai mitos dari para orang tua.
Hasil riset juga menunjukkan selain Pengadilan begitu gampang mengabulkan permohonan dispensasi ada soal lain yang tak kalah pelik yaitu soal perkawinan yang tak tercatat. Jumlah perkawinan yang tercatat ini diyakini sebagai fenomena gunung es, karena data mengenai ini tak pernah mudah untuk divalidasi.
Persoalan ini tentu menjadi tantangan yang harus dijawab oleh Pemerintah, DPR, dan juga masyarakat. Perlu ada pembaruan kebijakan untuk mengatur lebih rinci mengenai pencatatan perkawinan dan upaya untuk mendorong diperbaikinya batas usia minimum perkawinan dan prosedur dispensasi yang lebih rigid. Selama ketiga hal tersebut diperbaiki, maka pertaruhannya adalah keselamatan anak – anak Indonesia dan tentu dalam skala yang lebih luas adalah peradaban dari masyarakat Indonesia sendiri.
Naskah dapat diakses melalui link : https://drive.google.com/file/d/1IOtqDB0pdz8cgdWGKdrIV7qsNrY6UaqZ/view?usp=sharing
Koalisi 18+
Koalisi Perempuan Indonesia